Liburan saat ini, saya banyak nonton berita-berita yang sepertinya saya emang belum tahu sebelumnya (maklum, anak kuliahan jarang nonton TV, kebanyakan tugas :P). Kalo liat berita sekarang, mungkin salah satu yang paling "hot jeletot" saat ini (kaya nama merk gehu aja...) adalah kasus dimana seorang siswa SMK (atau SMA yah...) di Palu maling sendal milik seorang anggota kepolisian. Kenapa bisa sampai dibilang "hot" sih? Yah, karena hukumannya itu lho, bisa nyampe 5 tahun penjara.
Cuma nyolong sepasang sendal aja, ganjarannya nyampe 5 tahun penjara. Kalo aja diselesaikan secara kekeluargaan dan tidak membawa-bawa emosi mungkin nggak akan nyampe dibawa ke pengadilan segala. Cukup dengan mengayomi si pencuri sajalah (itu emang tugasnya polisi kan) agar tidak lagi melakukan hal yang demikian kelak, dan separah-parahnya juga minta aja ganti rugi berupa uang untuk beli sendal baru atau berupa sendal dengan kualitas minimal setara atau bahkan lebih tinggi. Gampang kan? :)
Mungkin sekarang saya bakal sedikit lebih serius bahas soal masalah ini. Ketika saya melihat wawancara di salah satu stasiun TV swasta, sebut saja tvOne (lho kok malah disebut yah...), salah seorang mengatakan kalau mengambil suatu barang yang bukan hak miliknya, itu sudah melanggar hukum dan bisa dikenai sanksi yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang. Nah, kalo ditilik dari perkataan tersebut, berarti boleh-boleh saja kan kalo misalnya kasus-kasus sepele seperti mencuri sendal atau apapun lah benda yang terkesan sepele atau tidak terlalu penting untuk dibawa ke pengadilan bisa diusut agar si pelaku tersebut dihukum sesuai aturan yang berlaku. Tapi, sekali lagi kalo menggunakan akal pikiran yang sehat dan jernih tanpa intervensi dari siapapun, alangkah lebih baiknya jiga masalah tersebut tidak perlu diungkit-ungkit hingga akhirnya jadi lebih kompleks. Kasus seperti ini pun bukan yang pertama terjadi, tetapi telah berkali-kali terjadi. Misalkan saja, pernah ada seorang nenek yang dituntut ke pengadilan hanya karena mengambil tiga buah kakao. Akhirnya nenek itu dihukum 1 bulan kurungan. Adilkah gerangan kiranya?
Ngomong-ngomong soal kehilangan alas kaki, saya juga punya pengalaman ga terlalu mengenakan ketika dalam selang satu minggu saya harus kehilangan dua pasang sepatu ketika saya lagi ada di mesjid Salman. Padahal saya udah nyimpen di lokernya, tapi kok kayanya sial terus yah. Tetapi, untungnya saya bawa sendal di tas saya, karena pas waktu itu kan Bandung lagi sering hujan, kalo misalnya sepatu basah kan lama keringnya, jadi bawa sendal adalah solusi yang terbaik. By the way, pada awalnya saya bingung dimana lagi harus cari sepatu saya itu. Saya sering simpen itu sepatu di posisi loker yang sama, jadi kemungkinan lupa naruh sepatunya juga kecil, tapi apa boleh buat deh. Kalo saya cuma ngahuleng teu puguh (ngelamun ga bener), sepatu itu ga akan balik lagi ke pemiliknya, jadi saya ikhlas saja. Mungkin yang ngambil sepatu itu emang lagi ga punya sepatu atau sepatunya mau diloak lalu uangnya buat beli makanan (mencoba khusnudzon).
Kembali lagi ke topik utama :) . Well, banyak orang yang bilang kaya gini
Orang1: "Hukum sekarang tidak berpihak ke orang-orang miskin!!!"
atau kaya gini
Orang2: "Keadilan harus dijunjung tinggi di negara ini!!!"
atau mungkin
Orang3 : "Hukum koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya!!!"
Yah, kalo orang-orang demo soal hukum di negara kita, mungkin kata-kata di atas sering diucapkan. Tapi, birokrasi kita emang sulit, terutama bagi orang yang memang tidak berkecukupan. Contoh sederhana saja ketika kita harus di-oper kemana-mana pada saat buat KTP atau surat-surat lainnya, dan waktu selesainya pun lumayan tidak sebentar. Jadi mungkin itu sebabnya, sekarang-sekarang ini saya sering lihat status facebook atau orang-orang tweet soal hukum yang ga beres. Ada yang bikin status kaya gini:
"nyuri sendal jepit cepet bener d tindak nya, yang nyuri uang rakyat lama bener d tindaknya"jadi maklum lah kalo realita masyarakat Indonesia emang berkata demikian.
Kita suka lihat keadilan itu disimbolkan dengan timbangan dan orang yang matanya ditutup. Menurut pandangan saya, timbangan sudah jelas merepresentasikan soal keadilan. Tapi, kenapa matanya harus ditutup? Emang orang yang pegang timbangan itu buta atau lagi tidur? Ga kaya gitu juga kan. Maksudnya, hukum itu jangan pandang bulu. Jangan dilihat yang sedang dihukum itu orang kaya atau miskin, pejabat atau hanya rakyat jelata, tapi setiap yang melanggar hukum harus dihukum semestinya. Jadi, untuk kasus ini, hukum emang bener-bener "tidak pandang bulu". Tapi jangan salah kaprah dulu. Yang namanya jangan pandang bulu itu harus disertai rasionalitas dan norma-norma lain. Bisa jadi yang namanya dipenjara itu bukan solusi terbaik. Menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan penting, terutama untuk hal-hal yang memang tidak perlu diekspos terlalu jauh. Selain itu, yang namanya ganjaran dari sebuah kesalahan itu harus seimbang dengan seberapa berat seseorang melakukan seuatu kesalahan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung. Tentu tidak adil jika koruptor hanya dihukum selama 1 atau 2 tahun (itu juga mungkin kurang, soalnya ada pengurangan masa hukuman, remisi, atau pembebasan bersyarat) sedangkan pencuri sendal harus dihukum sampai 5 tahun. Mungkin timbangan sebagai simbol dari keadilan sudah bisa diatur-atur oleh harta atau kedudukan sekarang.
Barangkali, saya tidak memiliki banyak harapan ke depannya soal hukum dan kawan-kawan. Tapi, harapan saya untuk jangka pendek saat ini adalah sebagai berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar